Cari Blog Ini

Rabu, 31 Maret 2010

MERAMBAH DUNIA RETINOPATI DIABETIK

Saat anda mendengar kata retinopati diabetik, maka yang terlintas adalah penyakit seperti apa dan patutkah kita mengenalnya? Bagi para praktis RO(lihat artikel-artikel sebelumnya) maka akan terlintas apakah ini bagian wewenang kita atau rujuk saja pasien ke dokter mata, maka semua urusan beres. Dengan kata lain masa bodoh saja. Padahal para dokter dan spesialis mata,serta praktisi lainnya memiliki andil untuk saling bekerjasama dalam menyeragamkan tata laksana penanganan. Menurunkan angka kebutaan indonesia yang berada pada kisaran 0,9% menurut hasil RISKESDA tahun 2007 dan bahaya dari retinopati menyumbang kurang dari 0,13% menjadi sebuah sinyalemen utama untuk merevisi prosedur yang selama ini dipakai.

Dalam sosialisasi program penanganan Retinopati Diabetik yang dihadiri oleh kepala Puskesma se-DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu menyebut bahwa perlu ada peran serta RO dalam menjalankan program ini. Mendengar akan hal itu saya agak terperangah, lebih jauh lagi saya bertanya dalam hati "bisakah kesempatan ini untuk mengangkat profesi?". Pertanyaan itu terus bergaung dan akhirnya saya putuskan untuk berbagi informasi dengan anda,khususnya para praktisi. Tanpa anda dan profesi, sungguh mustahil bilamana saya mendapat kepercayaan sebagai koordinator pelaksana dalam program yang membawahi seluruh Puskesmas se-Jakarta dan Kepulauan Seribu. Saya akan mencoba memaparkan yang tentu saja dalam domain dan kapasitas RO.

Diabetes mellitus (DM) (dari kata Yunani διαβαίνειν, diabaínein yang artinya "tembus" atau "pancuran air", dan kata Latin mellitus berarti "rasa manis") yang umum dikenal sebagai kencing manis.DM terbagi menjadi 2 bagian :

1. DM tipe 1
DM yang bergantung pada insulin karena penderita memiliki kelainan pada sel beta pankreas sehingga mempengaruhi produksi insulin. Biasanya terjadi pada anak-anak.
2. DM tipe 2
DM yang tidak bergantung pada insulin. Ini terjadi karena kombinasi dari "kecacatan dalam produksi insulin" dan "resistensi terhadap insulin" atau "berkurangnya sensitifitas terhadap insulin"(adanya cacat respon jaringan terhadap insulin)yang melibatkan reseptor insulin di membran sel.Ini terjadi pada manusia dewasa.DM tipe 2 memiliki korelasi yang erat dengan retinopati diabetik.

Retinopati diabetik merupakan pengejawantahan komplikasi pada penderita DM dan diyakini dapat menyebabkan kebutaan. Apalagi dalam beberapa literatur dan riset yang sampai saat ini dilakukan menunjukkan disebutkan bahwasanya fenomena ini memberikan ekses yang tidak sedikit.Beberapa diantaranya apapun jenis pengobatannya tidak bisa disembuhkan, fungsi dari perawatan dan penanganan dengan menggunakan laser(photokoagulasi) hanya menghambat dampak kebutaan bukan mengembalikan fungsi penglihatan.

Dimanakah peran praktisi RO dalam keikutsertaannya menjadi bagian dari tata laksana penanganan diabetik retinopati? Berikut ini adalah yang seyogyanya anda bisa lakukan dalam mendeteksi ataupun menanganinya terutama pada saat penulisan resep kacamata,antara lain sebagai berikut :

1.Lakukan pemeriksaan tajam penglihatan
Pemeriksaan ini disarankan dilakukan 2 kali, bukan 1 kali sebagaimana praktek yang selama ini terjadi. Di samping itu alasan untuk meyakinkan atas keluhan kacamata tidak nyaman padahal baru seminggu dibuat dapat diminimalisir.
a.Tahap I pemeriksaan dilaksanakan dengan meminta pasien terlebih dahulu untuk puasa sebelum diperiksa.
b. Tahap II pemeriksaan diupayakan sekitar 2 jam pasca makan.

Kedua tahapan ini memiliki keterkaitan dimana kadar gula darah akan sangat berbeda pada saat sebelum dan setelah makan. Setelah anda mendapatkan hasil keduanya maka ambilah nilai rata2 dari hasil periksa pada kedua fase tersebut. Modifikasi resep akan sangat berguna bagi pasien terutama dikarenakan akumulasi naik-turunnya kadar gula darah dapat terwakili. Sehingga keluhan pasien akan ketidaknyamanan ukuran kacamata dapat sedikit terminimalisir.

2.Tes Konfrontasi
Lakukan tes ini bila anda mengetahui pasien anda mengidap penyakit DM. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :
a. Ambil posisi duduk secara berhadapan antara anda dengan pasien
b. Tutup mata kanan pemeriksa dan mata kiri pasien
c. Posisikan jari jemari anda seperti menunjuk dengan jari telunjuk mengarah ke atas.
d. Gerakan secara perlahan jari tersebut dari posisi tak terlihat menjadi terlihat dari tepi/temporal wajah ke arah nasal/hidung.
e. Bila jari sudah dalam posisi terlihat oleh pemeriksa, maka hentikan gerakan jari.Lalu tanyakan pasien apakah jari anda bisa dilihat olehnya.
- Bila tidak maka gerakan kembali tangan anda sampai terlihat oleh pasien.
- Bila terlihat, lanjutkan pergerakan hingga ke arah nasal/hidung
f. Tes ini untuk mengetahui besarnya lapang pandang pasien. Berkurangnya lapang pandang kerapkali dialami oleh penderita DM dan ini merupakan sebuah indikasi terjadinya Retinopati diabetik

3. Pemeriksaan posisi dan pergerakan bola mata.
Ini dapat dilakukan dengan menggunakan senter yang digerakkan ke segala arah untuk mengetahui respon pasien terhadap cahaya. Pemeriksaan ini memiliki kemiripan dengan tes konfrontasi hanya saja lebih mudah.

Ini adalah domain anda sebagai praktisi sebagai langkah preventif dan deteksi dini penderita Diabetik Retinopati. Situasi ini sekaligus dapat meningkatkan tingkat kepercayaan pasien pada anda, selain anda memiliki pengetahuan dan wawasan. Sebuah profesi dan seorang profesional sulit berkembang bila anda tidak mencoba menggali setiap informasi dari manapun termasuk pasien dan mencoba mengsikronkan antara teori yang anda ketahui dengan realita yang ada. Bahasan ini saya kan lanjutkan pada sesi selanjutnya.

Kritik dan saran dapat dialamatkan ke denny arya shafa oktavianto (FB),dunia mata dan optikal(grup FB),www.duniamatadanoptikal.blogspot.com (blog),dennyvian@yahoo.com dan doktavianto@hki.org. Makasih. Tulisan ini saya persembahkan untuk seorang almarhumah penderita DM. Jagalah keluarga kalian, karena kalian akan tahu betapa berharganya mereka bagi anda di saat anda telah kehilangan mereka. Denny sayang ibu.I love you my wife and son

Rabu, 17 Maret 2010

KIAT PRAKTIS APLIKASI RETINOSKOP II

Beberapa waktu yang lalu saya telah membahas tentang aplikasi penggunaan retinoskop berkaitan dengan pengetahuan alat tersebut. Pada kesempatan ini saya akan berbagi tehnik dengan anda dengan mencoba mengkompilasikan antara teori dan praktek secar bersamaan. Sehingga akan ada kesinambungan yang efektif meski perlu di sadari pula bahwasanya teori kadang tak seirama dengan praktek. Di samping itu perangkat ini juga tidak menafikan terjadinya sebuah kesalahan. Konsekuensi logis yang perlu diterima akal sehat dimana tidak ada satu tehnik pun yang sempurna. Perpaduan antara data komputer ( baca autoref ),retinoskop, trial error ( pemeriksaan subyektif ) akan menghasilkan buah yang manis. semuanya akan menjadi sempurna dengan komunikasi yang baik dan detail agar hubungan antara pasien dan praktisi tidak melulu seperti pedagang asongan, ketika telah membeli ( selesai berinteraksi ) maka hubungan menjadi selesai.

A. Reflek Retinoskop
Adalah gerakan yang timbul di mata pasien saat anda menggerakkan retinoskop
1. With motion ( searah gerakannya )
2. Againts motian ( berlawanan arah gerakannya )
3. Neutral ( netral gerakannya atau tidak ada pergerakan )
4. Undetermined ( tidak dapat ditentukan gerakannya )
Untuk poin ke-4, gerakan reflek sulit diketahui dan bukan merupakan salah satu gerakan yang termasuk dalam poin 1,2,3.

B. Persiapan
Beberapa hal di bawah ini adalah item yang perlu dilakukan sebelum melaksanakan pemeriksaan obyektif via retinoskop, sebagai berikut :
1. Anda bisa menggunakan phoroptor atau trial frame sebagai media penempatan lensa koreksi.
2. Ambillah posisi sedikit agak menyamping dari hadapan pasien disesuaikan dengan mata yang akan diperiksa. Hal ini berguna agar punctum remotum ( titik penglihatan jauh) menjadi tak terhingga atau dengan kata lain tidak terjadi konvergensi.
3. Mintalah pasien untuk melihat sebuah obyek dibelakang anda supaya pasien tetap berfiksasi.
4. Sampaikan pada pasien tentang pendaran sinar akan terasa agak perih atau menyilaukan saat sinar dari perangkat retinoskop sejajar dengan pupil pasien. Informasi ini berguna bagi anda untuk mencegah keluhan yang terjadi saat pemeriksaan berlangsung.

C. Prosedur Pemeriksaan
1. Posisikan bentuk reflek sinar dalam keadaan sleeve up ( searah vertikal ). Jangan lupa sebelum anda melihat lewat lubang penglihatan retinoskop, biasakan untuk menaruh reflex sinar di tepi mata atau lateral. Ini mempermudah anda untuk tidak mencari-cari lagi keberadaan reflek sinar saat anda telah melihat di lubang instrumen retinoskop.
2. Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
a. With motion
Sisipkanlah lensa plus dimulai dari S + 1.00 D, tambahkan secara terus-menerus sampai gerakan berubah menjadi "against motion" atau "neutral".
b. Against motion
Dalam situasi ini penanganan sama seperti poin "a" akan tetapi lensa untuk menetralkannya adalah dengan memasukkan lensa minus hingga didapat refleks netral.
c. Netral
Bilamana ini terjadi lakukanlah penambahan lensa plus agar mengarah ke "with motion" dan bila kondisi itu terjadi, anda sisipkan lensa minus untuk membuat reflek ke arah neutral. Tindakan ini hanya untuk melakukan cross-check terhadap temuan anda.
d. Gerakan yang tidak dapat ditentukan
Dalam kasus ini, proyeksikan lensa minus secara bertahap sampai gerakan yang terjadi adalah "with motion". Namun apabila fenomena ini tetap berlangsung meski anda menambahkan lensa minus secara terus-menerus, maka anda dapat mengambil kesimpulan telah terjadi distorsi(=penyimpangan) dari refleks atau bahkan kelainan refraksi yang tinggi.Bilamana kejadian ini tetap berlangsung meski lensa koreksinya sudah cukup tinggi, alangkah lebih baik bila anda menggantinya dengan lensa plus hingga kondisi "with motion" tercapai. Ketika anda tetap tidak mendapatkan posisi tersebut, kemungkinan besar telah terjadi distorsi reflek. Ini dapat terjadi andai saja terdapat katarak, edema kornea, atau kelaianan organik lainnya. Anda dapat mengkonfirmasinya dengan melihat hasil kelengkungan kornea via keratometer atau autorefkeratometer.
e. Dikarenakan pada umumnya bentuk bola mata tidak bulat secara penuh, disarankan bagi anda melaksanakan prosedur sebagaimana di sebut di atas dengan sleeve mengarah ke tegak lurus dari meridian sebelumnya. Masukkanlah lensa cylinder baik plus atau minus sampai reflek netral didapatkan.
f. Lakukan perhitungan terhadap jarak kerja seraya hasil telah anda dapatkan
g. Minta pasien untuk melihat obyek snellen atau optotype untuk menilai tajam penglihatan secara monokuler (=1 mata ) dan binokuler (=2 mata ) dan lakukanlah penghalusan nilai koreksi bila diperlukan.
h. Tulislah resep setelah anda mendapatkan nilai koreksi yang diharapkan

3. Besaran Lebar dan Kecepatan Reflek
Kedua besaran di atas sangat berguna dalam mengidentifikasi seberapa besar nilai koreksi yang mungkin anda dapatkan untuk mencapai reflek "netral". Namun kadang kala ini tidak 100% dapat dijadikan sebagai tolak ukur perkiraan nilai koreksi. Jadi, anda tetap harus melakukan prosedur di atas dengan seksama.

D. Tips
1. Bila ingin mempercepat proses adalah dengan menyisipkan ukuran dalam interval atau step lebih dari 1 Dioptri. Sebagai contoh bila dengan S + 1.00 D gerakannya masih "with motion" maka masukkanlah lensa S + 3.00 D. Semakin singkat waktu pemeriksaan maka pasien akan terhindar dari rasa mengeluh yang berlebihan.
2. Hindari stigma di saat kuliah perihal gerakan yang tidak beraturan atau acak untuk mempermudah anda menentukan refleks sinar.Mohon maaf saya sampaikan ini, karena pendapat ini sempat mengecoh saya dan ketika saya telusuri lewat literatur ternyata hanya masalah penentuan kosa kata saja.
3. Bila anda kesulitan dalam mengenali "refleks netral", lakukanlah pemeriksaan retinoskop saat anda selesai melakukan pemeriksaan subyektif dimana anda telah mendapatkan ukuran koreksi yang belum dimodifikasi.

Rekan profesi tanamkan dalam diri masing-masing, alat ini bukan untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Jadikanlah alat ini sebagai sebuah langkah dalam kelengkapan anda dalam menulis resep yang akan diberikan ke pasien. Perkaya diri anda dengan kemampuan ini dan anggaplah ini sebagai bekal anda seraya mengimplementasikan tuntutan profesi yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pra syarat standar profesi.

Senin, 08 Maret 2010

SUDUT PANTOSCOPIK KUNCI SUKSES MENGGUNAKAN KACAMATA???

Banyak permasalahan yang kerap kali ditemui saat menggunakan kacamata, apakah kacamata yang memiliki ukuran( baca minus, plus atau cylinder ) atau tanpa ukuran. Pertanyaan yang selalu muncul, dimanakah letak permasalahannya? Keadaan ini bagi penyandang kelainan refraksi terutama dengan tingkat koreksi yang tinggi menjadi hal yang tidak aneh bahkan dianggap biasa. Lalu seperti apakah penjelasan secara teknis?
Mayoritas pengguna mengeluhkan ketidaknyamanan saat menggunakan alat bantu yang bernama kacamata. Pusing, cepat lelah, mata berair sebagai beberapa hal dari akibat pemakaiannya. Padahal cukup banyak faktor yang dapat dijadikan indikator instrumen tersebut bermasalah. Tidak jarang ukuran yang kurang pas dijadikan kambing hitam atas problema yang dihadapi.
Kami ingin menghadirkan kepada seluruh pembaca sekalian baik anda praktisi atau non praktisi perihal hambatan saat menggunakan piranti kacamata. Ya, sudut pantoscopic yang didefinisikan sebagai sudut kemiringan rim ( baca tempat lensa ) antara garis lurus yang dibentuk oleh lensa dan frame. Sebagai titik rujukan adalah gagang bagian samping frame, dimana tegak lurusnya dianggap garis normal. Gunakanlah penggaris dan posisikan tegak lurus dengan bagian samping frame dan penggaris tersebut diproyeksikan menjadi garis normal. Kemudian anda dapat melihat kemiringan rim dari mistar acuan garis normal. Besaran yang direkomendasikan adalah 8-10 derajat andai diukur dengan menggunakan penggaris busur derajat.
Mengapa harus diperhatikan? sudut pantoskopik berperan dalam menentukan jarak antara permukaan belakang lensa sama jaraknya terhadap kornea mata pada tiap bagian lensa. Apabila jarak yang sama telah dicapai, maka akan semakin meningkatlah zona penglihatan efektif. Kami yakin bahwasanya saat anda melihat bagian tepi lensa meski normal sekalipun akan mengakibatkan penyimpangan pembiasan. Sehingga, obyek terlihat tidak sesempurna saat anda melihat dari titik pusat lensa.Di samping itu zona efektif power akan didapat. Dalam beberapa penelitian, bahkan dilansir bahwasanya sudut pantoscopik menjadi kunsi sukses atau keberhasilan saat menggunakan kacamata. Bahkan untuk jenis lensa tertentu, para praktisi disarankan untuk mengukur sudut pantoscopik sebelum melakukan penitikan titik fokus lensa.
Apakah anda sudah mengeceknya, jangan sungkan untuk meminta pada para praktisi agar kenyamanan menjadi hal nyata dan bukan impian belaka. Lagipula, apakah anda tidak bosan dengan rasa tidak nyaman dan sempitnya lapang pandang akibat memakai kacamata. Pastikan anda yakin bahwasanya sudut pantoskopik bagian kanan dan kiri frame adalah sama. Banyak orang telah membuktikannya, bagaimana dengan anda ???