Cari Blog Ini

Rabu, 20 Januari 2010

HIKAYAT TAJAM PENGLIHATAN/VISUAL ACUITY ?

Judul di atas mungkin terasa janggal bagi anda yang tidak memiliki latar belakang sebagai praktisi kesehatan mata. Dalam kesempatan yang berbahagia ini karena grup ini sudah menginjak usia 5 bulan, bila bayi sedang belajar merangkak dan makan, kami ingin menyajikan hal mendasar dari kesehatan organ penglihatan ditinjau dari fungsi mata. Tajam penglihatn merupakan padanan dari bahasa inggris "Visual acuity" yang didefinisikan sebagai buruk atau jelasnya penglihatan yang bergantung pada tingkat kejelasan upaya pemfokusan di retina yang merupakan pengejawantahan hubungan antara fungsi mata dan sentifitas kerja di otak.Tajam penglihatan sendiri dikenal sebagai nilai kuantitatif dari hasil sebuah kemampuan mengidentifikasi sebuah obyek dengan besaran dan jarak tertentu.
Satuan yang biasa digunakan cukup bervariatif tergantung dari kebiasaan tiap negara. Pada umumnya untuk di indonesia menggunakan meter, tetapi tidak sedikit juga yang menggunakan satuan feet.Bilangan 6/60 dalam skala meter menunjukkan nilai pembilangnya (baca 6 ) adalah jarak orang yang tidak mampu melihat sebuah deretan obyek dengan sempurna dan nilai penyebutnya ( baca 60 )mewakili jarak orang normal yang masih dapat melihat obyek tersebut dengan baik. Obyek yang digunakan begitu bervariasi berupa huruf ( yangg dipopulerkan oleh Snellen ), angka ( yang diperkenalkan oleh Hess ), huruf C dalam berbagai / broken ring ( oleh Landolt ), huruf E dalam berbagai posisi dan gambar.
Apabila didesimalkan, maka 6/60 = 0.1 dan bila dipersentasikan berarti 10% bermakna fungsi penglihatan individu yang diperiksa sebesar 10%, dan dia kehilangan 90% fungsi penglihatannya. Menurut batasan WHO( World Health Organisation ) dan telah di adopsi secara aklamasi di kalangan praktisi, batasan tajam penglihatan normal adalah berkisar 6/12 atau fungsi penglihatan yang dimiliki adalah 50%. Namun 6/6 adalah nilai dimana seseorang dianggap memiliki kemampuan penglihatan 100%. Semuanya tercakup dalam satuan meter sebagai acuan.
Berikut ini adalah runtutan kisah dari tajam penglihatan yang begitu fenomenal :
1843 : Para ilmuwan jerman berinsiatif untuk melakukan standarisasi tes untuk fungsi penglihatan dan menginisiatifkan beberapa model
1854: Eduard von Jaeger mempublikasikan contoh perangkat yang digunakan dalam tes baca ( jarak dekat ). Beliau menggunakan bahasa jerman, perancis, inggris dan beberapa bahasa lainnya sebagai pilihan dari simulasi yang diadakan. Besaran hurufnya sendiri merujuk pada State Printing House di Wina ( austria ) dan melabelkannya dalam angka dari katalog percetakan di tempat tersebut
1861: Franciscus Donders menjadikan tajam penglihatan sebagai gambaran tingkat kejelasan fungsi penglihatan dan memberikan batasan subyek dan standarisasi dari tajam penglihatan.
1862: Hermann Snellen memperkenalkan obyek berupa huruf. Keputusan terbesarnya adalah pemberian nama obyek dengan nama optotype dimana pembuatannya didasarkan pembuatan 25 buah kotak berbentuk bujur sangkar ( baca 5X5 ). Hal ini menjadi begitu penting karena memberikan standar dalam pembuatan obyek. Snellen juga memberikan rumusan "standar penglihatan " dalam pembuatannya berupa sudut 5"( baca 5 menit )dimana setiap huruf tersebut harus mewakili secara penuh bagian kotak dari 25 kotak yang tersedia .
1868: John Green of St. Louis, salah seorang yang bekerja sama dengan Donders dan Snellenm,menyarankan besaran sebuah obyek didasarkan pembuatannya secara geometri dan juga proporsi jarak antar huruf. Pada saat itu, usulan Green tidak bisa diterima. Di kemudian hari prinsip ini dijadikan sebagai standar internasional dalam pembuatan obyek
1875: Snellen mengubah bentuk dari feet ke dalam meter.
1875: Felix Monoyer mengajukan pengubahan notasi snellen dalam desimal
1888 : Edmund Landolt melansir Landolt C atau broken ring
1898 : Marius Tscherning melaporkan bahwasanya 6/6 bukanlah merupakan batasan normal seperti yang di sampaikan oleh Snellen. Namun beberapa penelitian standar 6/6 bisa dijadikan rujukan dan digunakan samapai detik ini.
1923 : Sergei Golovin and D. A. Sivtsev mengembangkan tabel tes tajam penglihatan, selanjutnya dikenal sebagai tabel Golovin-Sivtsev
1959 : Louise Sloan membuat desain baru optotype dengan 10 buah huruf,setiap huruf mewakili setiap baris, agar supaya menghindari masalah bilamana semua huruf tidak dapat dikenali secara baik. Louise Sloan juga memperkenalkanukuranbaru sebuah huruf dengan menggunakan sistem Standar Internasional bahwa standar ketajaman 6/6 atau 1 menyatakan kemampuan dalam mengenali standar ukuran sebuah obyek(1M-bunit) pada jarak (1 meter).
1976 : Ian Bailey and Jan Lovie melansir jenis obyek baru dengan sedikit huruf di setiap baris dan jarak spasinya disesuaikan dengan besaran huruf sebelumnya. Usulan ini dibuat agar obyek tidak terlihat terlalu banyak dan menunmpuk dan besarnya notasi tajam penglihatan berada di sampingnya. Chart ini memiliki bentuk seperti piramid dan terlihat tidak menumpuk atau terlalu banyak variabel huruf dibandingkan yang telah dipakai sebelumnya dan optotype ini memasukkan saran Green perihal unsur geometri pada besaran huruf.
1976 : Lea Hyvärinen membuat sebuah dengan nama chart"Lea chart" yang berupa gambar seperti buah apel, rumah, lingkaran,dan bentuk segi empat yang diperuntukkan bagi anak-anak prasekolah atau yang belum mengenal aksara.
1976 : Hugh Taylor juga menggunakan desain Lea untuk huruf E dalam berbagai posisi ( E chart ) dan dikemudian hari digunakan untuk melakukan tes pada orang aborigin di australia.
1982 : Rick Ferris dan rekan-rekannya di National Eye Institute memilih menggunakan desain dari Bailey-Lovie dan diaplikasikan dengan desain huruf Sloan dalam rangka membuat sebuah standarisasi pengukuran tajam penglihatan untuk penelitian Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS). Optotype tersebut digunakan dalam setiap event di penelitian dan membiasakan setiap praktisi dengan desain baru ini.Dari daripenelitian tersebut digunakan mengkombinasikan huruf-huruf dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan sebuah huruf di setiap barisnya.
1984 : The International Council of Ophthalmology menyatakan persetujuannya pada standar baru pengukuran tajam penglihatan dan jenis-jenis optotype lainnya.

Sumber :
1. Wikipedia
2. Herman Snellen (www.whonamedit.com)
3. www.ski.org

Kamis, 07 Januari 2010

MYOPIA MENGHANTUI ANAK KITA


Telinga kita mungkin sudah akrab dan terbiasa dengan istilah myopia. Namun tak ada salahnya bila saya memaparkan kembali dalam rangka menunjang artikel ini.Myopia berasal dari bahasa yunani "muopia" dan didefinisikan sebagai rabun jauh atau nearsigtedness dalam bahasa inggris. Myopia merupakan kelainan refraksi pada bagian mata sehingga sinar yang masuk akan menghasilkan bayangan yang difokuskan di depan retina dengan akomodasi secara rileks.Penyandang kelainan ini dapat melihat obyek yang berada dalam jarak dekat secara jelas tapi tidak untuk jarak jauh.Bentuk bola mata yang lebih panjang dari normal, bentuk lengkung kornea yang agak datar, sehingga bayangan terfokus di badan kaca bukan di retina.Keadaan ini berbanding terbalik dengan kondisi pada penyandang kelainan hypermetropia.
Tapi pernahkah anda menyadari bahwasanya rabun jauh sudah menjadi endemik tersendiri. Walaupun belum ada riset yang mendukung secara 100% bila dapat diturunkan atau bahkan menular, namun berkurangnya lahan kosong dan hijau, kebiasaan hidup yang lebih berorientasi di dalam rumah, intensitas penggunaan penglihatan dekat yang lebih banyak dari penglihatan jauh.Secara general anak-anak pada saat ini lebih suka bermain bola di playstation dibandingkan menghabiskan bermain bola di lapangan terbuka. Pola hidup yang jauh berubah dan diimbangi dengan pola makan dan bahan dasar makanan turut memicu keadaan yang dapat dikatakan abnormal ini begitu mencengkeram setiap langkah anak. Mungkin di masa lalu para orang tua dikhawatirkan dengan penyakit cacingan, sekarang hal ini sedikit demi sedikit mulai berubah tanpa disadari.
Di seluruh dunia, prevalensi kelainan refraksi diperkirakan 800 juta dari 2.3 milyar jumlah populasi yang ada. Kelainan myopia diindikasikan atas berbagai macam variabel seperti usia, jenis kelamin, etnik, pekerjaan, lingkungan dan banyak faktor mendukung lainnya. Seperti di cina, india dan malaysia, lebih dari 41% remaja menyandang kelainan ini dengan tingkat koreksi -1.00 Dioptri dan lebih dari 80% dengan ukuran -0.50 Dioptri. Penelitian terbaru institusi di Inggris melansir hal yang lebih mengejutkan dimana 50% penduduk inggris berkulit putih dan 53.4% penduduk Inggris keturunan Asia mendapatkan mata mereka mengalami rabun jauh. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Rasa-rasanya angka-angka tersebut akan tidak berarti bila kita tidak membandingkannya dengan postulat-postulat ( baca dalil atau alasan pembanding )yang ada di indonesia. Pada tanggal 24 November 2009, saya dan tim dari Helen Keller International ( sebuah LSM yang intensif dalam program2 kesehatan dalam hal ini mata ) mencoba melakukan penelitian dengan responden berasal dari sebuah sekolah dasar di bilangan menteng atas. Jumlah responden 334 orang mencakupi kelas 1 sampai dengan 6 dimana 13 diantaranya pernah menggunakan kacamata atau memeriksakan matanya baik ke optikal maupun ke dokter spesialis mata. 110 anak mengalami myopia dengan koreksi -0.50 Dioptri atau normal bila kita mengacu pada Standar WHO sebagai badan kesehatan dunia.251 anak lainnya perlu dikoreksi antara -0.75 Dioptri s/d -2.00 Doptri dan 10 lainnya membutuhkan koreksi di atas -2.00. Bisa pula dikatakan bahwa lebih dari 500 mata mengalami kelainan myopia. Bila dipresentasikan maka lebih dari 50% anak didik butuh koreksi myopia. Lalu bagaimana dengan populasi indonesia secara keseluruhan, maka hasil yang mencengangkan akan membuka mata pikiran anda pada umumnya dan pemerintah pada khususnya dalam hal kepedulian kesehatan mata para generasi penerus bangsa.Bahkan beberapa peneliti mencap asia 70-90% ,menyandang kelainan ini dan merupakan jumlah terbesar di dunia. Sedangkan benua Afrika hanya 10-20% dan merupakan terkecil didunia.
Arthur Jensen, seorang praktisi mempercayai bahwasanya ada indikasi antara myopia dengan IQ ( tingkat intelegensi ) memiliki hubungan ataupun dipengaruhi oleh faktor gen. Tidak ada mekanisme secara spesifik menerangkan tentang hubungan tersebut. Namun ada sebuah penelitian yang menunjukkan penyandang myopia akan bertambah nilai koreksinya seiring dengan tingkat pendidikan seseorang dan banyak penelitian lainnya menunjukkan keterkaitan yang erat antara myopia dan IQ. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Arthur Jensen bahwa rata-rata para penyandang myopia memiliki nilai IQ lebih tinggi 7-8& dibandingkan populasi lainnya.
Menurut etiologi dan phato genesis sampai saat ini tidak ada 1 teori pun yang dapat memberikan penjelasan dengan memuaskan perihal pengaruh panjang bola mata dan nearsightedness. Tapi pada pertengahan abad 20, kebanyakan dokters spesialis mata dan optometris percaya apabila myopia disebabkan oleh intensitas kerja yang menggunakan penglihatan dekat yang dapat diklasifisikan sebagai keadaan " didapat" dan pertambahan nilai koreksi karena faktor pertambahan usia. Pada saat ini banyak ahli dan praktisi berpendapat bila kelainan ini disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan.Akan tetapi terdapat dua hal yang mendasar dan di gadang-gadang sebagai penyebabnya yaitu faktor kehilangan atau berkurangnya fungsi retina dan media refrakta pada mata yang tidak fokus. Opsi ini terjadi karena sinar yang masuk ke indera penglihatan difokuskan tidak secara tepat di retina oleh sub bagian mata.
Begitu banyak hal yang dapat diungkap namun pada dasarnya perlu adanya kewaspadaan bagi para orangtua dan guru serta praktisi dalam mengantisipasi dilema ini. Lingkungan, pola hidup, pola makan, dan terutama bagi yang berusia sekolah dan kuliah harus lebih berancang-ancang memaknai perilaku mereka. Bukan tidak mungkin pemandangan ini akan menjadi hal biasa sebagaimana masyarakat di masa lalu begitu paranoid bila anak mereka menderita penyakit cacingan. Saatnya kita memberikan pemahaman bila menggunakan kacamata terutama bagi anak usia sekolah bukanlah sebuah aib atau penurunan kasta sosial. Tapi lebih dari sekedar estetika kacamata juga merupakan alat rehabilitisi fungsi penglihatan.

Daftar pustaka:
1. Online Etymology Dictionary
2. Borish, Irvin M. (1949). Clinical Refraction. Chicago: The Professional Press.
3. Duke-Elder, Sir Stewart (1969). The Practice of Refraction (8th ed.). St. Louis:The C.V. Mosby Company. ISBN 0-7000-1410-1.
4. Wikipedia
5. Hasil riset HKI